Rabu, 05 Agustus 2009

PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA

BAB I

PENDAHULUAN

Di jaman yang tingkat mobilitasnya sangat tinggi seperti saat ini para profesional, eksekutif muda, pengusahawan, dan lainnya dituntut untuk bekerja ekstra cepat dan tanpa mengenal waktu. Karena begitu padatnya jadwal yang mereka miliki, sehingga mengakibatkan banyak hal-hal yang dapat dikatakan terbengkalai karena kesibukan pekerjaan mereka tersebut dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu orang-orang tersebut diatas membutuhkan bantuan dari para profesional lain untuk menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan yang tidak dapat mereka tangani sendiri. Yang dimaksudkan dengan menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan sesuatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum.
Seseorang yang telah diberikan kekuasaan atau wewenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atas nama orang lain atau orang yang telah memberikan kuasa, dapat dikatakan bahwa ia mewakili si pemberi kuasa. Artinya bahwa apa yang dilakukan si penerima kuasa adalah tanggungan dari si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemberian kuasa kepada si penerima kuasa akan menerbitkan suatu perwakilan, yaitu adanya seseorang yang diwakili kepentingan hukumnya dan seseorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemberian kuasa khususnya dalam hal pemberian kuasa kepada Penasehat Hukum / Advocat/ Lawyer, dimana penerima kuasa ini bertugas untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang dimiliki oleh si pemberi kuasa.
Oleh karena itu penulis akan membahas beberapa hal penting mengenai pemberian kuasa kepada Penasehat hukum atau Advocat, diantaranya adalah sebagai berikut :
§ Di dalam Bab berikutnya tentang Pembahasan akan dijelaskan secara menyeluruh mengenai maksud dari kuasa dan pemberian kuasa, serta akan dijelaskan kewajiban-kewajiban dari pemberi dan penerima kuasa, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu KUHPerdata.
§ Selain itu di bab II akan dijelaskan mengenai, apakah surat kuasa termasuk dalam perjanjian timbal balik atau perjanjian sepihak? Karena sebagaimana kita ketahui bersama banyak sekali pandangan serta doktrin yang berbeda-beda mengenai hal ini, oleh karena itu permaslahan ini akan dibahas secara mendalam dengan mengkaitkannya dengan Pasal-pasal yang ada di dalam KUHPer dan juga akan dikaitkann dengan pandangan dari para sarjana hukum terkemuka.
§ Di dalam bab berikutnya juga akan dijelaskan mengenai kuasa substitusi, cara-cara berakhirnya perjanjian pemberian kuasa dan juga perbedaan antara lastgeving (perjanjian pembebanan perintah) dengan pemberian kuasa.


BAB II

PEMBAHASAN

A. pengertian umum
Surat Kuasa adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu sedangkan Pemberian Kuasa (lastgeving, Bld) adalah pemberian kewenangan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama si pemberi kuasa.
Sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1792 yang dimaksud dengan pemberian kuasa yaitu:
“suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
Yang perlu dicermati dan digarisbawahi dalam pengertian diatas adalah definisi menurut KUH Perdata, dimana disitu terdapat kata-kata “menyelenggarakan suatu urusan” dan kata-kata “untuk atas namanya” ditinjau dari sisi yuridis kata-kata “menyelenggarakan suatu urusan” berarti bahwa disitu terdapat suatu perbuatan hukum yang akan mengakibatkan akibat hukum tertentu sedangkan kata-kata “untuk atas namanya” berarti adanya seserorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Sehingga dapat diartikan bahwa orang yang menerima kuasa dalam melakukan urusan tersebut adalah mewakili dan dalam hal ini berarti si penerima kuasa berbuat untuk dan atas nama si pemberi kuasa, serta akan menimbulkan hak dan kewajiban baik dari si pemberi kuasa maupun penerima kuasa tersebut.
Berdasarkan pengertian Pasal 1792 diatas maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah, adanya persetujuan yang berisi pemberian kekuasaan kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur tersebut maka dapat dilihat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa mempunyai hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa adalah mutlak berasal dari dirinya karena sangat mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaannya kepada si penerima kuasa tetapi kekuasaan tersebut merupakan milik orang lain. Karena kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka pemberi kuasa memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa.

B. kewajiban-kewajiban penerima kuasa
Hal ini diatur dalam Pasal 1800 – 1806 KUHPerdata.
Sesuai dengan Pasal 1800 kewajiban terpenting yang harus dilaksanakan oleh si penerima kuasa adalah melaksanakan kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya oleh pihak yang memberikan kuasa, selama pemberian kuasa tidak terhenti dalam hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1813 dan seterusnya. Dan penerima kuasa bertanggung jawab atas segala kerugian yang diderita sebagai akibat dari ketiadaan pelaksanaan kekuasaan.
Apabila perjanjian pemberian kuasa masih berlaku, si pemberi kuasa meninggal dunia, maka menurut Pasal 1813 hal ini menyebabkan perjanjian pemberian kuasa berakhir. Akan tetapi ayat 2 dari Pasal 1800 BW menentukan, apabila pada waktu si pemberi kuasa meninggal dunia, si penerima kuasa sudah mulai melakukan tugasnya selaku kuasa, maka ia diwajibkan untuk menyelesaikan tugasnya tersebut.
Menurut Pasal 1801 BW si penerima kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tetapi penerima kuasa juga bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 1802 BW mewajibkan si penerima kuasa untuk melaporkan kepada si pemberi kuasa tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang telah diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa.


Substitusi
§ Pengertian Kuasa Substitusi
Yang dimaksud dengan Kuasa Substitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Atau dengan kata lain bahwa Kuasa Substitusi adalah Kuasa yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain.

§ Tanggung jawab Penerima Kuasa substitusi
Pasal 1803 KUH Perdata menegaskan bahwa “Si penerima kuasa bertanggung jawab atas orang yang telah ditunjuknya, sebagai pengganti posisinya dalam melaksanakan kuasanya, yaitu diantaranya adalah :
ü Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya
ü Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak-cakap atau tak mampu.
Jadi jelas bahwa pasal tersebut menghendaki apabila pengangkatan kuasa substitusi tidak diperbolehkan atau tidak mendapat persetujuan dari Pemberi Kuasa (pemberi kuasa pertama kali sebelum terbit kuasa substitusi) dan apabila pengangkatan kuasa substitusi telah mendapat wewenang dari Pemberi Kuasa tanpa menentukan siapa orangnya, ternyata orang tersebut tidak cakap atau tidak mampu maka hal tersebut menjadi tanggung jawab dari Pemberi Kuasa substitusi.

C. Kewajiban-kewajiban pemberi kuasa
Kewajiban dari pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 – 1812, dimana kewajiban dari pemberi kuasa adalah sebagai berikut :
Pemberi kuasa diwajibkan untuk memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikan kepadanya.
Pemberi kuasa wajib untuk mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan si penerima kuasa selama ia diberikan kuasa untuk mengurus segala urusan-urusan yang dimiliki oleh si pemberi kuasa, serta si pemberi kuasa wajib untuk membayar upah kepada si penerima kuasa apabila hal ini telah diperjanjikan sebelumnya.
Apabila seorang penerima kuasa diangkat oleh lebih dari satu orang untuk mewakili suatu urusan bersama maka orang-orang tersebut bertanggung jawab bersama atas segala akibat dari pemberian kuasa itu kepada si penerima kuasa.

D. kuasa umum dan kuasa khusus
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akte umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 1793 BW. Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa itu adalah bebas dari sesuatu bentuk cara (Formalitas) tertentu ; dengan perkataan lain, ia adalah suatu perjanjian konsensual artinya sudah mengikat (sah) pada saat tercapainya kata sepakat antara si pemberi dan penerima kuasa.
Kekuasaan atau wewenang yang diberikan untuk melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain itu dalam bahasa belanda disebut “Volmacht”, dalam bahasa inggris disebut “Power of attourney”. Tidak semua perbuatan hukum dapat dikuasakan kepada orang lain, misalnya saja dalam hal pembuatan surat wasiat (Testament) atau memberikan suara dalam rapat anggota suatu perkumpulan.
Sesuai dengan Pasal 1794 Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma kecuali diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas maka si penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih dari pada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk seorang wali. Ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan sudah usang karena berasal dari hukum romawi, yang dilahirkan dalam jaman dimana orang-orang yang diberikan kuasa itu biasanya melakukan suatu jasa dengan cuma-cuma untuk kepentingan seorang kawan.
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan, yaitu misalnya untuk menjual sebuah rumah, untuk mencarikan seorang partner dalam usaha perdagangan, dan lain sebagainya. Pemberian suatu kuasa umum hanya memberi kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan, misalnya terhadap perusahaannya si pemberi kuasa untuk mengurus perusahaan itu dan sekali-kali tidak boleh menjual perusahaan itu. Dengan sendirinya pemberian kuasa untuk mengurus sebuah toko, meliputi kekuasaan untuk menjual barang-barang dagangan yang berada dalam toko itu dan membeli stock baru, karena itu termasuk pengertian “mengurus” toko ; yang tidak boleh adalah menjual tokonya.
Untuk mengajukan suatu perkara gugatan di muka pengadilan, menurut pasal 123 HIR diperlukan suatu kuasa khusus tertulis. Sifat khusus itu ditujukan pada keharusan menyebutkan nama pihak yang digugat dan mengenai perkara apa. Kuasa tersebut dapat diberikan secara lisan, apabila penggugat membawa orang yang akan diberi kuasa itu ke depan sidang pengadilan, kemudian di depan sidang itu menyatakan kehendaknya untuk memberikan kuasa kepada orang yang dibawanya itu untuk mengurus perkara yang akan diperiksa.
Si penerima kuasa tidak boleh melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya; kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian, sekali-kali tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya kepada putusan wasit

E. SURAT KUASA: PERJANJIAN TIMBAL BALIK ATAU PERJANJIAN SEPIHAK?

Bila dikualifikasikan sebagai perjanjian sepihak, maka penerima kuasa tak perlu menandatangani surat kuasa. Bila sebagai perjanjian timbal-balik, maka penerima kuasa wajib menandatangani surat kuasa, sebagaimana perjanjian pada umumnya.
Perdebatan ini terjadi antara Todung Mulya Lubis cs dengan Panitera Mahkamah Konstitusi (MK) Ahmad Fadlil Sumadi saat pendaftaran permohonan judicial review UU Pemilu Legislatif. Disini menggambarkan adanya perbedaan interpretasi (penafsiran) mengenai surat kuasa. Ahmad Fadlil meminta para advokat yang namanya tercantum sebagai penerima kuasa untuk menandatangani surat kuasa, sedangkan Todung cs menilai tanda tangan dari pemberi kuasa saja sudah cukup.
Pada dasarnya surat kuasa memang dikualifikasikan sebagai perjanjian, sesuai dengan dasar pengaturannya yang ada dalam Buku Ketiga KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) tentang perikatan. Di dalam Pasal 1792 BW disebutkan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Kemudian timbul persoalan ketika muncul pertanyaan, “Apakah surat kuasa itu perjanjian timbal-balik atau perjanjian sepihak?”.
Di satu sisi ada yang mempunyai pendapat, apabila surat kuasa dianggap sebagai perjanjian timbal-balik, maka argumen Fadlil yang meminta penerima kuasa menandatangani surat kuasa mungkin bisa dibenarkan. Namun, di satu sisi juga ada yang beranggapan apabila surat kuasa dipandang sebagai perjanjian sepihak, penolakan para advokat yang tak mau membubuhi tanda tangan di surat kuasa tersebut adalah benar.
Kemudian Trimoelja, yang merupakan konsultan hukum dan juga advocat memberikan argumennya mengenai masalah ini, ia menjelaskan bahwa pemberian kuasa menurut teori hukum merupakan perjanjian sepihak. Karena pada dasarnya, pihak yang memberikan kuasa sewaktu-waktu dapat mencabut kembali tanpa perlu meminta persetujuan dari si penerima kuasa.
Menurut Trimoelja, harus dibedakan antara perjanjian timbal-balik dengan perjanjian sepihak. “Perjanjian sewa-menyewa atau jual-beli adalah perjanjian timbal-balik makanya harus ada tanda tangan kedua belah pihak, tetapi berbeda dengan kuasa, karena perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian hukum sepihak.
Mantan hakim agung M. Yahya Harahap menerangkan pada dasarnya surat kuasa memang perjanjian hukum sepihak. Surat kuasa masuk pada ruang lingkup perjanjian tertentu. “Tetapi kalau seandainya dituangkan dalam kesepakatan, hal itu juga bisa dilakukan, penerapannya tidak terlalu kaku”.
Kemudian timbul lagi pertanyaan, apabila surat kuasa dikualifikasikan sebagai kesepakatan atau perjanjian timbal-balik. Apakah pencabutan surat kuasa bisa dilakukan sepihak oleh pemberi kuasa? Atau harus melewati gugatan perdata seperti pembatalan perjanjian pada umumnya?
Dalam konteks perjanjian timbal-balik, Pasal 1266 BW menyatakan bahwa pembatalan perjanjian dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, harus dimintakan kepada hakim. Pada prinsipnya, syarat batal dalam suatu perjanjian dianggap selalu tercantum dalam perjanjian.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa banyak orang yang berpendapat secara strict atau kaku, kalau kuasa itu merupakan perjanjian sepihak. Orang-orang yang berpendapat seperti ini mendasarkan pada Pasal 1813-1819 BW yang menyatakan bahwa kuasa dapat dicabut secara sepihak oleh si pemberi kuasa. “Tetapi seandainya perjanjian pemberian kuasa itu dibuat dan ditandatangani oleh penerima kuasa, pencabutan secara sepihak yang dilakukan pemberi kuasa pada dasarnya tidak bertentangan. Karena undang-undang sendiri yang mengatakan bisa dicabut secara sepihak.
Di dalam surat kuasa, telah disebutkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh si penerima kuasa dan apabila hal tersebut tidak dijalankan berarti si penerima kuasa telah melakukan wanprestasi, oleh karena itu perjanjian pemberian kuasa ini bisa dibatalkan, karena di dalam undang-undang sendiri yang menentukan bisa dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa, maka dari itu boleh-boleh saja dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa tanpa melewati proses gugat perdata.
Sedangkan Penulis buku Hukum Perwakilan dan Kuasa, Rachmad Setiawan berpendapat sedikit berbeda. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa pengaturan tentang kuasa di KUHPerdata, sebenarnya mengatur soal lastgeving yang terjemahan harfiahnya “pemberian beban perintah”. Namun prakteknya, banyak sarjana hukum menerjemahkannya sebagai pemberian kuasa. Perkembangan hukum di negeri asal nya KUHPerdata (Belanda) sendiri – melalui Nieuw BW, sebuah kitab revisi atas BW – telah membedakan antara kuasa dan lastgeving.
Pada prinsipnya, lastgeving berbeda dengan pemberian kuasa. Lastgeving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa. Sedangkan kuasa merupakan kewenangan mewakili.
Rachmad setiawan mengatakan bahwa lastgeving bersifat timbal-balik sedangkan kuasa atau volmacht hanya sepihak. Menurut pendapatnya “Kuasa kepada lawyer itu lastgeving”. Karena bersifat timbal-balik, maka menurutnya lastgeving kepada advokat tidak bisa seenaknya saja ditarik. “Kuasanya bisa ditarik secara sepihak. Tapi untuk perjanjiannya tidak bisa ditarik sepihak, harus ada pembayaran ganti rugi dan semacamnya”.

F. Cara – cara berakhirnya pemberian kuasa

Mengenai cara – cara berakhirnya pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 – 1819 BW, sesuai dengan 1813 – 1819 KUHPerdata ada beberapa cara untuk mengakhiri Perjanjian Pemberian Kuasa, antara lain :
§ Penerima Kuasa menghentikan kuasa yang diberikan kepadanya.
§ Pemberi atau penerima kuasa, salah satu atau keduanya meninggal dunia.
§ Pemberi atau penerima kuasa, salah satu atau keduanya berada di bawah pengampuan.
§ Pemberi Kuasa menarik kembali kuasanya.
§ Penerima Kuasa dalam keadaan pailit.
§ Perjanjian pemberian kuasa berakhir dengan adanya perkawinan antara Pemberi dan Penerima Kuasa.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara Pemberian Kuasa dengan Perwakilan. Pemberian kuasa terhadap lawyer atau pengacara dapat dikatakan sebagai perjanjian sepihak, karena berdasarkan penjelasan dalam bab pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian pemberian kuasa tersebut termasuk kedalam perjanjian sepihak karena pada dasarnya perjanjian terhadap lawyer atau pengacara dapat ditarik secara sepihak oleh pemberi kuasa tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari pihak penerima kuasa, selain itu juga sesuai dengan pasal 1814 BW yang mengatakan bahwa Si Pemberi Kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala ia menghendakinya, sehingga jelas bahwa perjanjian pemberian kuasa khusunya pemberian kuasa kepada lawyer adalah perjanjian sepihak, hal ini sesuai dengan argumen yang diberikan oleh Mantan hakim agung M. Yahya Harahap dimana beliau menerangkan bahwa pada dasarnya surat kuasa memang perjanjian hukum sepihak. Surat kuasa masuk pada ruang lingkup perjanjian tertentu. “Tetapi kalau seandainya dituangkan dalam kesepakatan, hal itu juga bisa dilakukan, karena penerapannya tidak terlalu kaku”. Tetapi hal ini sampai saat ini masih terus diperdebatkan oleh para sarjana hukum Indonesia, karena ada juga yang berpendapat bahwa perjanjian pemberian kuasa termasuk ke dalam perjanjian timbal-balik.

B. Saran
§ Penulis berharap agar pemerintah khususnya para pembuat undang-undang untuk segera melakukan revisi atas KUHPerdata, khususnya dalam hal pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian pemberian kuasa, karena setelah di analisa secara mendalam ternyata banyak sekali kekurangan yang terdapat di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian pemberian kuasa, yang kemudian mengakibatkan munculnya berbagai interpretasi karena tidak jelasnya peraturan perunadng-undangan yang ada. oleh karena itu dapat dipastikan tujuan hukum yang pada dasarnya untuk menjamin kepastian hukum masyarakat pasti akan sulit untuk dicapai.

§ Penulis juga berharap agar dibuat peraturan-peraturan yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian pemberian kuasa, agar dapat memudahkan masyarakat memperoleh kepastian hukum, sehingga dengan demikian akan tercapai kepastian hukum.


DAFTAR PUSTAKA

§ Wiryono, P. Prof. Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu. Sumur Bandung. Jakarta : 1972.

§ Subekti, R. Prof. Aneka Perjanjian. Intermassa. Jakarta : 2005
§ Yahya Harahap, M. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung : 1986.

§ WWW. HUKUM ONLINE. COM
ü Membahas tentang perjanjian pemberian kuasa.
ü Surat kuasa termasuk perjanjian sepihak atau perjanjian timbal balik.

§ WWW. GOOGLE. COM
ü Tinjauan terhadap surat kuasa.
ü Pandangan para sarjana hukum indonesia tentang perjanjian pemberian kuasa.

§ WWW. KOMPAS. COM
ü Kasus – kasus tentang pemberian kuasa terhadap Penasehat Hukum.

Senin, 03 Agustus 2009

ANALISA YURIDIS KASUS RUSUNAMI KALIBATA

Liputan 6 - Rabu, April 8

Liputan6.com, Jakarta:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, belum lama ini, menyegel proyek pembangunan rumah susun sederhana hak milik (Rusunami) Kalibata, Jakarta Selatan, karena belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Kejadian itu membuat kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat gerah. Pasalnya, kementerian inilah yang ditugasi menyelesaikan masalah pembangunan perumahan bersubsidi itu.
Menpera Muhammad Yusuf Ashari menyayangkan kasus Rusunami Kalibata. Namun Menpera menjamin masalah IMB yang belum selesai akan dikeluarkan instansi terkait setelah pengembang memenuhi kewajibannya. Pernyataan Menpera tentu menjadikan konsumen tenang karena heboh Rusunami Kalibata sempat membuat mereka panik. Para konsumen khawatir dibebani biaya tambahan.
Pembangunan rumah susun bersubsidi memang membantu kalangan bawah yang belum mempunyai rumah. Sayangnya, pengembang sering memanfaatkan peluang ini dengan melanggar aturan. Seharusnya, meski ini proyek pemerintah aturan tetaplah harus dipatuhi.(IAN/Vivi Waluyo dan Nurwanto)

ANALISA YURIDIS :

Penyegelan proyek pembangunan rumah susun sederhana berstatus hak milik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat DKI Jakarta atas proyek rusunami di kalibata, jakarta selatan ini merupakan akibat dari tidak adanya Izin Mendirikan Bangunan. Izin Mendirikan Bangunan sangat diperlukan sebagai salah satu persyaratan administratif yang harus dipenuhi sebelum developer atau pengembang melakukan pembangunan rumah susun, hal ini sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 16 tahun 1985 tentang rumah susun Jo Pasal 30 ayat (1) PP No. 4 Tahun 1988 tentang peraturan pelaksana rumah susun dimana di dalam pasal-pasal tersebut di atas dinyatakan bahwa sebelum developer atau pengembang melakukan pembangunan satuan rumah susun, maka pengembang tersebut harus memenuhi telebih dahulu persyaratan adminsitratif atau dengan kata lain pengembang atau developer tersebut harus mempunyai izin mendirikan bangunan.
Pelanggaran-pelanggaran semacam ini seringkali terjadi dalam setiap pembangunan, dimana ada dua faktor utama yang menjadi penyebab seringnya terjadi pelanggaran ini antara lain adalah faktor intern pengembang, dimana pengembang memang dengan sengaja mengabaikan persyaratan administratif, sehingga mengakibatkan timbulnya sengketa dikemudian hari, karena tidak terpenuhinya syarat administratif sebelum melakukan pembangunan atau dapat juga pelanggaran ini terjadi akibat dari faktor ekstern yaitu sulitnya proses permohonan perizinan untuk mendirikan bangunan yang mengakibatkan banyak pengembang “malas” untuk memenuhi persyaratan asministratif sebelum melakukan pembangunan.

Tetapi dalam hal pembangunan rumah susun di kalibata, ini merupakan proyek pembangunan yang dilakukan oleh Mentri Negara Perumahan Rakyat dimana kementerian inilah yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah pembangunan perumahan bersubsidi tersebut.
Menpera Muhammad Yusuf Ashari menjamin masalah IMB yang belum selesai akan dikeluarkan oleh instansi yang terkait setelah pengembang memenuhi kewajibannya. Pernyataan Menpera tersebut dapat membuat para konsumen menjadi sedikit lebih tenang, karena para konsumen khawatir akan dibebani biaya tambahan lagi di kemudian hari akibat tidak adanya IMB.

KASUS RUSUNAMI

Rumah Susun di Indonesia & Segala Permasalahannya

Rabu, 2008 Mei 14
Kusutnya AJB Apartemen Casablanca Mansion
Rabu, 13/06/2007 18:29
Pengirim: Margaretha Pattihahuan

Kami adalah pembeli Apartemen Casablanca Mansion, salah satu apartemen untuk hunian kelas menengah dengan jumlah unit sekitar 600 unit di Jl. Raya Casablanca yang dijual dengan sistim 'strata title' oleh pengembang PT Intersatria Budi Perkasa Mulia.
Memulai penjualan awal Januari 2004, unit mulai ditempati oleh pembeli sejak Maret 2006. Ketidaknyamanan mulai dirasakan bukan hanya dari segi kualitas material bangunan di unit hunian, namun juga pada fasilitas umum seperti lift yang rusak bergantian (terdapat 4 lift umum dan 1 lift barang), kebocoran di area parkir mobil; serta kemampuan pengelolaan gedung yang dipegang oleh pihak pengembang. Keluhan atau komplain terus diajukan secara personal maupun bersama-sama melalui kelompok yang dibentuk untuk mewakili kepentingan pembeli sejak proses serah terima unit oleh pengembang.
Menyadari pentingnya legalitas atas kepemilikan unit, kami segera melengkapi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan pengembang untuk melaksanakan penandatanganan akta jual beli (AJB). Ternyata proses tersebut tidak berjalan dengan mudah. Di luar pajak pembelian (BPHTB) dan setoran PBB, untuk dapat melakukan AJB pengembang menetapkan biaya pemecahan sertifikat, pertelaan, penggantian asuransi kebakaran dan notaris yang sangat tinggi.
Anehnya lagi pengembang tidak menggunakan rekening perusahaan melainkan rekening atas nama Komisaris Utama untuk menerima Pembayaran pajak pembelian (BPHTB) dan PBB, pemecahan sertifikat dan pertelaan.
Setelah melakukan negosiasi pengembang bersedia memenuhi tuntutan kami untuk menurunkan biaya notaris dan pembeli dapat menyetorkan sendiri pembayaran BPHTB dan PBB-nya. Tetapi pengembang menolak permintaan klarifikasi kami atas biaya pemecahan sertifikat dan pertelaan (dengan jumlah 3-4 juta rupiah/unit).
Karena tidak disebutkan dalam PPJB besar biayanya, kami hanya bersedia membayar jika biaya tersebut bisa diverifikasi (contohnya kami bersedia membayar premi asuransi kebakaran).
Dalam proses verifikasi biaya pajak ditemukan kesalahan perhitungan luas tanah bersama untuk 3 tipe unit yang dijual (Peach, Indigo dan Magenta) dengan jumlah sekitar 300 unit. Akibatnya pembeli terbeban biaya pajak yang lebih beasar.
Atas kesalahan tersebut, pihak pengembang tidak mengeluarkan pemberitahuan kepada pembeli atas koreksi yang dilakukan kepada kantor pajak (PBB 2007 masih atas nama pengembang) atau memberikan kompensasi.
Kurangnya informasi atas prosedur pembelian apartemen, menyebabkan banyak pembeli bersedia melakukan pembayaran pajak transaksi jual beli dan penandatanganan AJB tanpa memperhatikan dan memeriksa sertifikat maupun isi AJB.
Setelah pemecahan sertifikat induk menjadi SHMASRS (tertanggal 13 Desember 2006), banyak sertifikat yang dipasang hak tanggungan oleh Bank Bukopin terkait dengan pinjaman modal kerja pengembang untuk konstruksi (tertanggal 28 April 2006) juga untuk unit-unit yang telah lunas (beberapa pembeli telah melakukan pelunasan sekaligus pada tahun 2004 untuk mendapatkan discount yang besar).
Dalam hal ini, pemasangan hak tanggungan seharusnya tidak dilakukan dan pada bulan Desember 2006 sudah dapat dilakukan penandatangan AJB. Sehingga pembeli terhindar dari kenaikan NJOP yang sangat signifikan di tahun 2007.
Proses penghapusan hak tanggungan (roya) selanjutnya menjadi tanggung jawab pengembang untuk diproses ke BPN segera setelah Bukopin melakukan pelepasan hak tanggungan secara bertahap. Penandatanganan AJB seharusnya tidak dilakukan sebelum SHMASRS bersih dari hak tanggungan.
Atas review terhadap draft AJB versi notaris/PPAT yang ditunjuk oleh pengembang, kami mengajukan beberapa perubahan dan klarifikasi terutama yang menyangkut definisi dari strata title atas unit yang diperjualbelikan. Dalam draft tersebut notaris menghilangkan 'bagian bersama' yang merupakan kesatuan daripada strata title di luar kesatuan unit, tanah bersama dan benda bersama.
Karena notaris menolak perubahan tersebut, kami meminta penggantian notaris dan menunjuk notaris lain. Setelah kami mengalah untuk membayar seluruh biaya yang tidak dapat diklarifikasi (pemecahan sertifikat dan pertelaan) agar bisa segera dilakukan penandatanganan AJB, pihak pengembang menyatakan penolakannya (setelah lebih dari 1 minggu dari permintaan penggantian notaris tersebut).
Penunjukan notaris/PPAT adalah juga hak pembeli untuk memberikan persetujuan, karena menyangkut kepercayaan pembeli terhadap proses dan keabsahan dokumen. Oleh karena itu biaya notaris/PPAT dan balik nama sertifikat menjadi beban pembeli. Penolakan pengembang dalam hal ini sangat tidak relevan.
Dengan semakin seringnya kasus-kasus sengketa tanah pada pembangunan apartemen, kericuhan pembentukan Pengurus Perhimpunan Penghuni dan banyaknya komplain pembeli atas perjanjian jual beli yang tidak 'seimbang' muncul ke permukaan, maka sudah saatnya pemerintah melakukan pembenahan. Kita tentunya tidak mau investasi properti di Indonesia juga akhirnya 'terbang' ke negara tetangga.

Tim Perwakilan Penghuni:
Margaretha Pattihahuan
Apartemen Casablanca Mansion
10#6
Jl. Raya Casablanca Kav. 09
Jakarta 12870
62 21 30037234
(nrl/nrl)